Oleh: Abd. Basid
sudah berabad-abad tahun yang lalu peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi. Namun peristiwa tersebut masih merupakan peristiwa yang sangat bersejarah bagi kalangan umat Islam. Maka dari itu, setiap bulan Rajab umat Islam masih selalu setia memperingatinya tanpa terkecuali, baik kalangan Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah, maupun kelompok-kelompok lainnya.
Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Baitul Maqdis kemudian naik ke Sidratul Muntaha, hanya dalam perjalanan satu malam.
Sekilas, peristiwa Isra’ Mi’raj memang tidak ada apa-apanya. Di balik semua itu tidak mengandung apa-apa. Mungkin cuma Rasulullah saja yang bisa merasakan nikmatnya perjalananya dari Makkah ke Baitul Maqdis dan naik ke Sidratul Muntaha yang akhirnya sampai pada langit ketujuh bertemu Allah dan menerima perintah kewajiban shalat
Secara rasio peristiwa Isra’ Mi’raj memang jauh dari jangkauan akal manusia. Apalagi bagi mereka yang tidak beriman atau imannya masih lemah. Akan tetapi, kehendak Allah tidak semuanya bisa diukur dengan akal. Maka, sangat tepat sekali—dalam hal ini—ketika Immanuel Kant mengatakan “saya harus menghentikan penyelidikan ilmiah guna memberikan waktu pada hatiku untuk percaya”.
Kedua, peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan bukti nyata bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat bertemu dalam kurun waktu tertentu, di mana manusia telah melenyapkan unsur kemanusiaannya, kemudian ia lebur dalam diri Tuhan. Manusia dapat lebur dalam Tuhan karena pada saat itu tidak ada siapa/apa pun kecuali Allah, Tuhan alam semesta. Manusia dapat berjumpa dengan Tuhan dengan cara melenyapkan semua esensi kemanusiaannya dan mengosongkan berbagai entitas, yang ada hanya entitas Allah.
Ketiga, Isra’ Mi’raj merupakan bukti bahwa manusia mampu menembus batas kemanusiaannya, batas tersebut akan mampu dilewati manusia ketika ia telah mampu menyingkirkan semua hal kecuali Allah dalam dirinya.
Dari rentetan hikmah yang telah penulis paparkan di atas setidakmya bisa berpikir bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah. Namun, di balik kelemahan tersebut Allah tidak membiarkannya lemah, Allah memberikan manusia akal untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya. Karena akal inilah manusia mendapat derajat yang lebih tinggi ketimbang makhluk-makhluk lainnya.
Dengan Allah memberikan akal pada manusia itu menandakan bahwa manusia diperintahkan untuk memikirkan dan merenungi segala fenomena yang ada, termasuk fenomena Isra’ Mi’raj.
Peristiwa Isra’ Mi’raj ketika dihubungkan dengan hal kepemimpinan (bangsa), maka seorang pemimpin setidaknya, pertama, selalu menjaga integritas moral (akhlak al-karimah) dan kesucian dirinya dengan berdzikir (ingat) kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat pertama dalam
Kedua, kebijakan seorang pemimpin harus membumi kepada hati dan kebuTuhan rakyat yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, hal itu telah diteladankan Rasulullah ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu dengan Allah. Padahal pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan umat manusia. Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Maka dari itu, dalam konteks ini, kebijakan yang bumi, mutlak diperlukan bagi seorang pemimpin.
Ketiga, amanat Rasulullah dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah untuk menegakkan shalat
Keempat, kepemimpinan dalam shalat tercermin dengan adanya seorang imam. Makmum diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Begitu juga dengan kepemimpinan suatu bangsa.
Pemimpin harus siap dikritik tanpa “meyatimi” rakyat dan rakyat sendiri harus mengkritik jika pemimpinya keliru—dengan kritikan konsruktif dan bermoral tanpa harus mencari celah terlebih dahulu. Pesan inti dari point keempat ini adalah ashlih nafsaka wad’u ghairaka (perbaikilah dirimu, dan ajaklah/tegurlah orang lain untuk berbuat baik).
*telah dimuat di harian Duta Masyarakat
pada rubrik Opini(
0 Response to "Kepemimpinan dan Perisriwa Isra’ Mi’raj*"
Posting Komentar
Tinggalkan komenrar Anda di sini!